THE PUNAKAWAN SERIES (PART 4)

GUMAM (PART 1)

SIARINDOMEDIA.COM – Suasana desa membuat siapa saja yang dolan ke Klampis Ireng dimanjakan pandangan matanya dengan hamparan sawah, tanaman buah-buahan dan air sumber yang bening dan jernih. Suara gemricik air pun menambah ketenangan hati siapa saja yang dolan ke Klampis Ireng.  Sore hari yang cerah, dan hangatnya sinar matahari membuat tubuh serasa tak ingin pergi dari desa tersebut.

Anak ragil dari Kakek Semar memulai sore hari dengan menaiki sepeda pancal jengki bercat merah tua mengelilingi Klampis Ireng.

Setelah melewati beberapa kebun jagung dan cabai Bagong pun beristirahat, duduk diatas kotakan yang terbuat dari semen cor yang dibawahnya ada aliran air sumber yang mengalir untuk warga desa Klampis Ireng.

Link Banner

Bagong memandangi langit dan menatap sekitar seraya bertanya pada Sang Hyang Widhi.

“Duh Gusti, napa kula niki tesih pantes midak Bumi Pertiwi kang Agung niki (Ya Tuhan, apakah saya ini masih pantas untuk menginjakan kaki di Bumi Pertiwi yang indah ini),” ucapnya dalam hati.

Bukan karena apa dia berucap dalam hati, Bagong merasa dirinya sudah tak lagi berguna untuk hidup di dunia ini. Dia merasa banyak sekali beban hidup yang dibawanya.

“La njih, Kula niki lare nakal, lare mbebel, sing isane gur gawe kuciwane wong, kok kula tesih njenengan Paringi gesang? (La iya saya ini anak nakal, anak bandel, yang bisanya hanya membuat kecewanya orang, kok ya saya ini masih diperkenankan untuk hidup?),” gumamnya kembali.

Bagong menyalakan sebatang rokok yang dia bawa di saku celananya untuk menenangkan dirinya sejenak. Dia kembali teringat akan masalahnya.

Bagong adalah anak harapan orang tua yang harus bersusah payah untuk menyenangkan hati mereka. Tapi dia juga berkorban untuk bisa menjadi lebih baik dan berguna bagi banyak orang.

Ada pertentangan dari keluarga kecilnya. Di satu sisi Bagong harus berjuang untuk kebaikan demi banyak orang, di sisi lain dia juga harus membahagiakan orang tuanya meski sesekali dia harus berbohong demi kebaikan bersama.

Dia berfikir bahwa hidupnya sudah terlalu kotor untuk dijalankan. Dia merasa ingin segera pulang ke alam kadewatan. Bagong tak mau kehidupannya hanya sia sia saja, karena tak tercapai tujuan kehidupannya.

Bagong tersentak karena Kyai Semar, tiba-tiba sudah berada di belakangnya sembari terkekeh-kekeh.

“Eee laee laee mbegeg ugeg ugeg sadulita hemel hemel (ucapan khas Kyai Semar). Manungsa kui urip mung saderma anitahake lelakune Gusti kang Akarnya Jagad. Ora kena sujanan marang apa kang wus ginarisake saking kodrat e Gusti (Manusia itu hidup hanya sekedar menjalankan garis yang sudah ditulis di takdir kita oleh Tuhan. Tidak boleh berfikiran curiga terhadap apa yang sudah digariskan oleh Tuhan),” ucapnya sambil ikut duduk disebelah anak ragilnya ini.

Bagong hanya terdiam. Seketika Semar tanggal dan menepuk pundak anak ragilnya itu.

“Le, urip iku nyakra manggilingan. Manungsa ora ana sing ngira Yen Gusti wes angucap Dadi utawa Kun (Nak, hidup itu berputar. Manusia tidak bisa mengira jika Tuhan sudah mengatakan Jadi atau Kun),” ucapnya seraya tersenyum.

Bagong dan Ki Semar jagongan
SAPEJAGONG. Kyai Semar dan Den Mas Bagong bertukar pikiran terkait kahanan jagad. Ilustrator: Angie Nabilah Fidela/Picture: Bayu Kusumaleksana.

Bagong pun tersentak dan ingin menimpali perkataan ayahnya itu.

“La ning urip kula lek ngeten terus bakal e …… (tapi hidup saya kalau begini terus nantinya akan…..),” dengan nada pelan.

Namun dia terhenyak kaget, karena bapaknya yang barusan mengajaknya bicara tadi tiba-tiba hilang dalam kedipan mata.

“Bapak ki tuman, anggere penting mesti ilang (Bapak ini mesti, setiap kali penting pasti akan menghilang),” ucapnya seraya tersenyum.

Dengan hati yang masih berkecamuk Bagong kembali mengayuh sepedanya untuk kembali berkeliling dan kembali pulang ke rumahnya.

(To Be Continued)

Ikuti selengkapnya kisah The Punakawan Series di Rubrik Sosial Budaya:

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *