SIARINDOMEDIA.COM – Maumere, sebuah kota pesisir di timur Flores, selama ini barangkali lebih dikenal dari kejauhan: sebagai pelabuhan, persinggahan, atau sekadar lanskap latar dalam narasi pariwisata.
Namun dalam semangat yang sepenuhnya berbeda, event budaya Maumerelogia hadir sebagai upaya membaca kota ini dari dalam—membongkar lapisan-lapisan ingatan, relasi kuasa, hingga ritme keseharian yang membentuk ruang hidup kita hari ini.
Dalam edisi kelima yang digelar pada 15–24 Mei 2025, Maumerelogia mengambil bentuk sebagai ‘festival kota’ yang bukan semata perayaan, melainkan juga sebuah pernyataan: bahwa seni bisa menjadi metode untuk menyoal, menghubungkan, dan menghidupkan ulang kota yang kita tinggali.
Maumerelogia tidak dimulai dari estetika, melainkan dari persoalan. Di kota seperti Maumere—yang tak sepenuhnya kota, tak lagi kampung, berada dalam limbo antara modernitas dan tradisi—kebudayaan tak hanya terjadi, ia digugat dan diperjuangkan.
Platform Riset, Seni, dan Dialog
Maumerelogia bekerja dengan semangat “logos”—membaca dan mengartikan Maumere, menjadikannya subjek alih-alih objek dalam produksi wacana.
Dengan pendekatan artistik berbasis riset, festival budaya ini membuka berbagai platform: dari pameran visual dan residensi seni. Hingga forum gagasan dan pertunjukan publik, semua diarahkan untuk membentuk ruang dialog kritis antarwarga.
Merawat Kultur Kota Hari Ini
Tahun ini, tema besar “Merawat Kultur Kota Hari Ini” memayungi seluruh rangkaian acara. Ini bukan slogan, melainkan pijakan untuk melihat bagaimana kota tidak hanya dibentuk oleh jalan raya dan kantor pemerintah. Melainkan juga oleh kerja-kerja perawatan yang sering tak terlihat.
Ritus harian, relasi sosial, cerita-cerita kecil yang diwariskan menjadi dasar pendekatan. Di Maumere, kota dibayangkan ulang bukan lewat masterplan arsitektural, tapi melalui cara warga saling menyapa, mengenang, menulis, menari, dan menyanyikan ulang kampung tentang halamannya.
Pertunjukan, Pameran, Residensi, Gagasan
Selama sepuluh hari penyelenggaraan, Maumerelogia 5 menghadirkan 35 program yang tersebar di berbagai titik kota. Festival ini menyuguhkan pertunjukan musik, teater, pameran seni rupa, dan diskusi publik.
Maumerelogia 5 juga membuka kesempatan bagi beberapa seniman dari Jayapura, Madura, Surabaya, dan Jogjakarta untuk melakukan residensi di Maumere. Hasil dari residensi mereka akan dipresentasikan dalam program pertunjukan.
Dalam forum gagasan, publik dapat berdiskusi, mengikuti seminar, talkshow, peluncuran buku, nonton film, tur kota, dan presentasi kuliner. Program-program ini dirancang untuk menjangkau publik yang inklusif, di mana semua orang bisa menikmati festival ini.
Melodi Kota
Salah satu momen penuh resonansi terjadi pada malam Melodi Kota #2 di Jln. El Tari, ketika tiga seniman lintas disiplin dari daerah yang berbeda, tampil dalam satu panggung. Acara yang cukup menyita perhatian publik.
Tiga seniman itu adalah Tantis Huller, musisi dan komposer asal Pulau Solor yang berbasis di Bali; Frau, musisi eksperimental dari Yogyakarta yang dikenal dengan eksplorasi piano-vokal anti-folk; dan Rani Jambak, seniman dan komposer asal Medan yang kini tinggal di Lasi Sumatera Barat, yang dikenal dengan rekayasa instrumen dan riset soundscape.

Teknologi Tradisi dalam Tafsir Kontemporer
Pada kesempatan ini, Rani membawakan beberapa komposisi menggunakan instrumen Kincia Aia, performance yang membangkitkan kembali teknologi tradisional Minangkabau berupa kincir air—alat yang kini nyaris punah di Sumatera Barat—dan merekayasanya sebagai instrumen suara kontemporer.
Melalui pendekatan ini, teknologi leluhur tak hanya dikisahkan, tapi dihadirkan kembali secara performatif, melebur antara materi, ingatan, dan teknologi digital.
Performance ini tidak sekadar sebuah konser, melainkan “penghadiran kembali” relasi warga dengan ruang dan waktu. Musik Rani, yang bersumber dari akar Minangkabau dan dimediasi oleh teknologi bunyi digital, menjelma sebagai tafsir kontemporer atas pengetahuan lokal.
Rani memainkan 3 karya musik eksperimental, yaitu Malenong (M)Aso, Jalan Gajah, dan Luhur Menghilang – dengan Instrumen Kincia Aia. Secara garis besar karya-karya tersebut banyak menyampaikan pesan tentang air.
Pencarian Identitas Kebudayaan
Bukan hanya di panggung, Rani Jambak juga didapuk menjadi salah satu narasumber dalam forum diskusi Gu’a Uma Kare Tua, Moru Mana Jata Kapa. Sebuah Kulababong (diskusi publik) yang digelar di Aula Karmel pada 19 Mei 2025.
“Gu’a Uma Kare Tua, Moru Mana Jata Kapa” merupakan istilah adat yang merujuk pada ritus persembahan atau penghormatan kepada leluhur dan Wujud Tertinggi, yang sarat dengan nilai-nilai teologis, kebersamaan, dan hubungan manusia dengan lingkungan/spiritualitas.
Dalam konteks Maumerelogia, istilah digunakan sebagai simbol kearifan lokal yang relevan untuk membahas dan merawat kultur kota Maumere di masa kini.
Dalam diskusi ini Rani menjelaskan. Bagaimana pencarian identitas kebudayaan menjadi titik awal dimana pada akhirnya tradisi dan kebudayaan bisa menjadi basis penciptaan karya-karya baru. Banyak sekali nilai-nilai dan produk kebudayaan yang bisa menjadi inspirasi dalam penciptaan seni.

Ekologi dan Nilai Keluhuran
Rani mengungkapkan bahwa Kincia Aia yang dibuat dan dimainkan Rani pada dasarnya adalah produk kebudayaan yang dekat dengan air, dalam hal ini sungai. Ternyata krisis iklim yang menyebabkan hilangnya banyak mata air di sekitaran kabupaten Agam. Tempat Rani melakukan riset, menjadi salah satu faktor punahnya Kincia Aia.
Maka masalah krisis iklim, terutama krisis air menjadi kampanye yang paling penting dalam pertunjukan Rani dengan instrument Kincia Aia-nya.
Menurut Rani, kebudayaan luhur yang hidup pasti ditentukan dengan kualitas alam yang terjaga. Seperti pada karyanya yang berjudul “Luhur Menghilang”, yang menceritakan ketika air hilang. Berarti nilai-nilai keluhuran yang ada di masyarakat sekitar air itu pun ikut menghilang.
Rani menyampaikan, “Pengetahuan leluhur memiliki keterhubungan dengan nilai-nilai ekologis dan spiritualitas, ternyata menjadi solusi dan sangat penting dalam perkembangan kehidupan masa kini.”
“Maka sangat perlu bagi generasi muda untuk kembali menggali nilai-nilai luhur dan pengetahuan leluhur untuk bisa menemukan tujuan dan makna kehidupan – serta membangun kesadaran keterhubungan kita dengan alam,” pungkasnya.
Ruang Suara sebagai Perlawanan
Festival budaya Maumerelogia 5 ini diinisiasi oleh Komunitas KAHE. Sebuah kolektif seni dan budaya berbasis di Maumere yang selama ini aktif dalam kerja-kerja budaya berbasis komunitas. Komunitas KAHE dikenal dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif dalam setiap programnya, menjadikan warga sebagai subjek aktif dalam proses kreatif.
Maumerelogia 5 dengan demikian tidak hanya dirayakan sebagai pesta, tetapi juga sebagai sebuah gestur dekolonial, sebagai perlawanan atau resistensi.
Festival yang telah diselenggarakan sejak tahun 2016 ini menjadi ruang untuk kembali mendengar suara-suara dari akar budaya lokal—suara para penjaga tradisi dan alam—sebagai upaya dekonstruksi. Dan mengurai jejak-jejak warisan kolonialisme yang masih membentuk cara kita melihat dan memahami Maumere hari ini.