SIARINDOMEDIA.COM – Pavilion Indonesia di Gwangju Biennale 2024 menjadi salah satu bagian penting dari pameran seni kontemporer terbesar di Asia. Acara ini berlangsung dari 7 September hingga 1 Desember 2024, yang melibatkan karya dari 180 seniman dan tim seniman yang berasal dari 32 negara.
Gwangju Biennale tahun ini memasuki edisi ke-15 dengan tema “Pansori: A Soundscape of the 21st Century”, yang mengeksplorasi narasi suara dan visual dalam kehidupan modern. Pavilion Indonesia menjadi salah satu peserta utama yang menampilkan kekayaan seni kontemporer Indonesia.
Pavilion Indonesia mengusung tema “The Broken Hearts Are Singing”, yang menggambarkan refleksi dan ekspresi emosional serta material masyarakat Indonesia. Hampir 30 pengisi acara, baik seniman individu maupun grup, berpartisipasi dalam Pavilion Indonesia, termasuk grup seperti Nayamullah, New Pesimism, Radio Isolasido, Sejawat Merawat, dan Perempuan Komponis.
“Tema ‘Nyanyian Hati yang Terluka’ mencoba menjembatani pengalaman kolektif masyarakat Indonesia dengan cara yang relevan secara global,” ungkap Rani Jambak, seniman dan komposer dari Sumatra Barat yang tampil di Gwangju Biennale bersama kelompok Perempuan Komponis.
Dalam wawancara setelah kembali ke tanah air, Rabu (27/11/2024), Rani menambahkan, bahwa kehadiran seniman Indonesia di acara ini adalah kesempatan strategis untuk menunjukkan keberagaman seni dan budaya Indonesia di panggung kontemporer bergengsi internasional.
Perempuan Komponis dan Rani Jambak
Dalam Gwangju Biennale Pavilion 2024, Rani tampil bersama Perempuan Komponis, kolektif yang didirikan pada tahun 2020 oleh Dinar Rizkianti, Gema Swaratyagita, Halida Bunga Fisandra, Ignatia Aditya Setyarini, dan Marisa Sharon Hartanto. Mereka menciptakan ruang aman bagi komponis perempuan dan non-biner untuk bereksperimen dan menciptakan karya musik yang mencerminkan pengalaman sosial dan budaya.
Perempuan Komponis memiliki berbagai program seperti Bunyi Puan Nusantara, yang menampilkan komposisi dari komponis perempuan di seluruh Indonesia, dan Community Sharing Session, sebuah forum diskusi untuk berbagi pengalaman dan memperkuat jejaring antar anggota.
Di Gwangju Biennale, Perempuan Komponis ini diwakili oleh beberapa anggotanya, yaitu Marisa Sharon Hartanto, Mery Kasiman, Leilani Hermiasih, dan Rani Jambak, untuk kegiatan tanggal 19-21 November 2024. Kemudian untuk tanggal 28 November sampai 1 Desember 2024, kolektif ini akan diwakili oleh Gema Swaratyagita, Sraya Murtikanti, Bunga Dessri, dan Dinar Rizkianti
Musik sebagai Ekspresi Emosi
Workshop “Bending Brokenness” berlangsung pada 19 November 2024, dan menjadi salah satu program menarik di Pavilion Indonesia yang dibawakan oleh tim Perempuan Komponis.
Dipandu oleh Leilani Hermiasih, Marisa Sharon Hartanto, Mery Kasiman, dan Rani Jambak, workshop ini mengajak peserta mengeksplorasi emosi melalui musik. Peserta menggunakan alat-alat sederhana seperti batu, kayu, dan kertas untuk menciptakan suara yang mencerminkan perjalanan emosional mereka.
Setiap material yang digunakan memiliki simbolisasi tertentu. Kayu menggambarkan kekuatan yang tersembunyi, sementara kertas melambangkan kelembutan yang rentan. Workshop ini membuka ruang bagi peserta untuk menyuarakan emosi yang mungkin sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Workshop ini tidak hanya membantu peserta menyelami diri mereka sendiri, tetapi juga memperlihatkan bahwa musik dapat menjadi alat untuk menyembuhkan dan membangun koneksi emosional. Melalui pendekatan yang inklusif, Perempuan Komponis menunjukkan bahwa seni adalah sarana refleksi dan ekspresi yang dapat dinikmati semua kalangan.
Tradisi dan Modernitas dalam Harmoni Kincia Aia
Rani Jambak membawakan Listening Session dengan tema “Kincia Aia” pada 20 November 2024. Dalam sesi ini, Dia menampilkan karya “Malenong (M)Aso”, sebuah komposisi yang terinspirasi oleh kincir air tradisional Minangkabau. Karya ini merefleksikan bagaimana teknologi tradisional bisa diinterpretasikan kembali untuk menyampaikan isu-isu kontemporer seperti perubahan lingkungan.
Rani juga memperkenalkan alat musik ciptaannya, Kincia Aia. Alat musik ini dirancang sebagai penghormatan terhadap tradisi leluhur yang sekaligus diintegrasikan dengan teknologi modern music digital. Penonton diajak untuk merenungkan hubungan antara inovasi dan tradisi melalui karya ini.
“Melalui sesi ini, saya ingin audiens tidak hanya menikmati keindahan suara dari Kincia Aia tetapi juga memahami cerita di baliknya. Saya ingin mengingatkan pentingnya menjaga warisan budaya kita sambil tetap terbuka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,” ujar Rani.