MENYEMBELIH NAFSU KEBINATANGAN MANUSIA POLITIK

* Oleh: Sugeng Winarno, S.Sos, M.A.

SIARINDOMEDIA.COM – Momentum Hari Raya Idul Adha menjadi ruang introspeksi bagi umat muslim. Lewat tadabur makna Hari Raya Qurban umat Islam diharapkan dapat meneladani pengorbanan Ibrahim dan Ismail. Siapapun manusia itu, sejatinya pada dirinya terkandung nafsu kebinatangan. Di tahun politik saat ini, Idul Qurban diharapkan jadi momentum bagi para manusia politik untuk menyembelih nafsu kebinatangannya.

Aristoteles pernah menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk politik. Makhluk politik sepintas tak ada beda dengan manusia kebanyakan. Mereka juga makan minum seperti manusia pada umumnya. Tampang dan bentuk fisiknya juga serupa, layaknya manusia keturunan Adam dan Hawa. Mereka juga hidup bermasyarakat, bahkan tak jarang mengaku sangat dekat dengan rakyat. Mereka sering tampil seakan membela orang lemah tak berdaya. Mereka sering muncul di saat kondisi genting, bak pahlawan penumpas kejahatan.

Namun, golongan manusia politik ini kalau dicermati tingkah polah dan gerak geriknya memang berbeda dari manusia kebanyakan. Manusia kelompok ini sukanya main politik. Apapun yang dilakukannya selalu berorientasi politik. Tak jarang mereka main kasar, bahkan sukanya menghalalkan segara cara demi mencapai tujuan yang diharapkan. Mereka kadang tak hanya mengenal cara halal. Cara-cara haram pun sering ditempuhnya.

Bila punya kepentingan, mereka mau berteman dengan siapapun. Namun sayang, manusia tipe ini tak segan menjadikan teman sendiri sebagai lawan. Bagi manusia yang termasuk kelompok ini berpegang anggapan bahwa tak ada teman yang abadi. Teman bisa jadi kawan, namun pada saat yang lain, sang teman bisa saja jadi lawan. Mereka berprinsip yang penting tujuan tercapai, yang utama ambisi tergapai.

NAFSU MANUSIA POLITIK

Manusia politik itu sejatinya manusia istimewa. Mereka bisa ketua atau pengurus partai. Mereka bisa para wakil rakyat, para anggota dewan di pusat dan daerah. Manusia politik itu bisa presiden, wakilnya, para menteri, staf khusus, dan tim ahli. Mereka juga bisa gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah, ketua RW, juga ketua RT. Para pemimpin ormas, pimpinan LSM, dan pemimpin sejumlah organisasi lain juga bisa jadi manusia politik.

Aristoteles meng anggap politik sebagai pengorganisasian warga untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan Plato menilai politik sebagai cara hidup bermasyarakat untuk mewujudkan kebajikan (virtue). Menurut filsuf kontemporer Perancis, Alan Badiou, mengartikan politik sebagai ruang di mana tujuan-tujuan untuk kebaikan bersama dipertaruhkan. Pendapat Badiou ini menolak pandangan yang menganggap politik sebagai ruang kotor, licik, dan culas.

Dalam definisi bebas, politik ada yang mengartikan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan. Ada juga yang menyampaikan bahwa politik itu kejam. Lantas, kalau politik didefinisikan demikian, bagaimana dengan orang-orang yang terlibat dalam politik itu. Apakah napsu manusia politik selalu menghalalkan segala cara? Apakah manusia politik itu dominan dengan napsu kebinatangan?

Tak jarang politik dikonotasikan sebagai sesuatu yang buruk. Politik sering diidentikkan dengan cara mendapatkan kekuasaan dengan cara yang kotor. Citra (image) buruk politik dan  manusia politik itu apa hanya kesan jelek belaka atau sesungguhnya fakta? Semua orang tentu bisa menilai dengan melihat dan mengamati apa yang selama ini dilakukan oleh para manusia politik itu.

MENYEMBELIH NAFSU KEBINATANGAN

Sejatinya pada diri manusia menempel napsu kebinatangan. Tak terkecuali pada manusia politik. Manusia sejati seharusnya mampu menyembelih napsu kebinatangannya itu. Kalau hal itu mampu dilakukan manusia, termasuk oleh manusia politik maka sebagai manusia politik akan rela mendarmabaktikan hidupnya untuk keperluan masyarakat luas dan untuk kepentingan publik, bukan privat. Manusia politik bukan orang yang mencari keuntungan pribadi, berupa kekayaan, status sosial, melancarkan proyek bisnis dan sejenisnya. Manusia politik tak boleh melakukan pengingkaran terhadap nilai-nilai kebajikan politik.

Sapi Kurban
SPIRIT PEMBEBASAN. Momen Idul Adha dapat menjadi katarsis untuk menyembelih nafsu kebinatangan manusia politik. Foto: Ist

Manusia politik harus punya gagasan, cita-cita, dan tujuan untuk mengatur kehidupan bersama demi kebaikan bersama. Manusia politik juga harus selalu mengedepankan kepentingan publik. Manusia politik harus bisa memilah mana kepentingan pribadi dan mana pula kepentingan untuk orang banyak. Mereka harus bisa mendahulukan kepentingan yang lebih luas. Manusia politik itu bekerja untuk kemuliaan, karena mereka mengabdikan hidupnya guna kebaikan bersama.

Manusia politik yang mampu mengendalikan napsu kebinatangannya bukanlah orang yang hanya suka membagi-bagi kekuasaan. Memberikan wewenang kekuasaan pada mereka yang disuka dan dari kelompoknya saja. Akhirnya pelimpahan kekuasaan itu dijalankan bukan atas dasar pertimbangan kemampuan, namun lebih pada untuk mengakomodasi kepentingan golongannya semata. Mereka merasa bahwa negeri ini pemiliknya adalah dia dan kelompoknya, hingga yang lain harus minggir.

Tak jarang manusia politik ini mengemis jabatan pada sang penguasa. Mereka meminta-minta posisi tanpa mengukur kemampuannya. Mereka berebut kursi kekuasaan sebanyak mungkin untuk kelompoknya. Mereka berebut jabatan agar bisa jadi gubernur, walikota, bupati, dan posisi jabatan publik lainnya. Para manusia politik tak bakal lelah memperebutkan kursi jabatan walau nanti ketika dapat juga belum tentu amanah dalam menjalankan jabatan itu, bahkan cenderung disalahgunakan.

Bagi manusia politik yang sejati, jabatan itu tak perlu dicari. Jabatan itu akan datang dengan sendirinya karena kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya. Sebagai manusia politik yang baik tak perlu menyogok demi mendapatkan jabatan. Tak ada barter apapun ketika sebelum menjabat dan setelah menjabat. Tak perlu uang besar hingga saat menjabat harus mencari uang sebanyak mungkin untuk mengembalikan modal awal saat proses mencari jabatan.

Tujuan para manusia politik menjabat idealnya adalah untuk mewakafkan dirinya pada umat. Memberi kemanfaatan yang seluas mungkin pada orang lain. Manusia politik itu orang yang punya posisi lebih dibanding manusia kebanyakan. Mereka adalah wakil rakyat yang dipercaya untuk melakukan pengaturan kehidupan rakyat. Posisi para manusia politik ini sejatinya mulia, mereka adalah manusia-manusia pengabdi masyarakat.

Seirama dengan spirit Hari Raya Idul Qurban, para manusia politik perlu menyembelih napsu kebinatangannya agar mampu mengorganisasikan kehidupan rakyat untuk mencapai kebaikan bersama. Politik itu bicara kepentingan rakyat atau kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, kelompok, parpol, bahkan kepentingan pribadi. Masyarakat menitipkan amanah mereka pada para manusia politik itu untuk dijaga sebagai amanah, bukan diselewengkan semaunya.

Artikel merupakan sumbangan tulisan dari Sugeng Winarno, S.Sos, M.A.

* Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *