SIARINDOMEDIA.COM – Kendati pemerintahnya cenderung memberi keleluasaan yang berlebihan terhadap kampanye gerakan LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer), namun pandangan berbeda disuarakan warga Amerika Serikat. Mayoritas warga AS ternyata hanya mengakui adanya dua gender (jenis kelamin, red) yang eksis di dunia, yakni laki-laki dan perempuan.
Hal itu terungkap dalam polling yang dilakukan Rasmussen Reports yang dirilis hari Kamis (1/6/2023) lalu. Dengan margin error di kisaran 3%, polling tersebut menyebutkan bahwa 7 di antara 10 (71%) warga AS menyepakati pernyataan “hanya ada dua gender, laki-laki dan perempuan”.
Polling tersebut sekaligus menunjukkan mayoritas pemilih AS, termasuk Partai Demokrat, menolak pencekok’an ideologi transgender yang lantang disuarakan pihak-pihak tertentu dan didukung habis-habisan sebagian media di sana.
Dalam polling yang sama, terungkap bahwa politisi sayap kiri (politisi yang terlalu ekstrim mendukung kebebasan, red) tidak sejalan dengan pemilih mereka, karena 67% pemilih Partai Demokrat ternyata menganggap hanya ada dua jenis kelamin yang eksis, laki-laki dan perempuan. Ini berbanding jauh dengan 14% yang menilai ada lebih dari dua gender. Sementara sisanya, abstain.
Ada pula warga yang terang-terangan secara frontal mendukung undang-undang yang melarang pengistimewaan transgender, termasuk terapi hormon dan operasi ganti kelamin.
Polling tersebut menunjukkan 59% warga AS mendukung larangan terapi hormon untuk anak-anak. Angka ini naik dari 52% pada Februari lalu. Sedangkan 62% setuju larangan operasi ganti kelamin.
Sebagian besar pemilih Demokrat juga setuju anak-anak di bawah umur tidak boleh memiliki akses ke pelayanan ganti kelamin. Tak hanya itu, 74% menentang sekolah atau guru menjelaskan kepada anak-anak didik mereka hal-hal terkait identitas kelamin tanpa persetujuan orang tua.
Hasil polling Rasmussen ini cukup mengejutkan mengingat selama ini berkembang anggapan bahwa gerakan LGBTQ mendapat sokongan dari warga AS. Namun bisa jadi karena kampanye gerakan LGBTQ yang terlalu massif, bahkan hingga ke institusi pendidikan selevel TK dan SD serta pembenaran-pembenaran melalui media dan film-film, lama-lama masyarakat yang paling liberal pun merasa muak.
Sebagai informasi, setidaknya ada 18 Negara Bagian di AS telah memberlakukan undang-undang atau kebijakan yang membatasi layanan perawatan transgender untuk anak-anak. Lucunya, politisi Demokrat sendiri mencela kebijakan tersebut dengan alasan terlalu fanatik dan berbahaya bagi anak-anak.
Entah kebetulan atau tidak, publikasi polling Rasmussen dilakukan bertepatan dengan Pride Month atau Bulan Kebanggaan. Pride Month yang dirayakan setiap tahun ini merupakan perayaan aktivitas LGBTQ secara terbuka yang disupport perusahaan-perusahaan multinasional.
Hanya saja, golongan konservatif di AS terus menerus memboikot bulan ‘nyeleneh’ ini. Karena golongan yang berpegang teguh pada ajaran agama dan norma-norma universal ini jumlahnya tidak sedikit, boikot yang mereka lancarkan sukses menyebabkan kerugian finansial yang teramat besar bagi perusahaan-perusahaan multinasional pendukung gerakan LGBTQ tersebut.
Salah satunya yang menderita kerugian besar adalah Target. Retailer raksasa itu kehilangan potensi pemasukan US$13 miliar selama dua minggu terakhir di tengah protes keras publik atas penjualan barang-barang bernuansa Pride untuk anak-anak.
Tak hanya Target, retailer besar lainnya seperti Walmart and H&M, juga aktif memajang aneka logo ‘pelangi’ secara menyolok di hypermarket-hypermarket yang mereka kelola.
Sedangkan produsen bir Bud Light penjualannya anjlok hampir 30% karena penolakan konsumen atas promosi pemasaran merek bir tersebut yang menggunakan Dylan Mulvaney, seorang influencer transgender.
Menanggapi hal itu, Mark Mitchell, yang bertanggung jawab terhadap polling, mengatakan bahwa reaksi kontra produktif terhadap perusahaan pendukung LGBTQ bisa menjadi pesan kuat yang mendukung kebijakan pembatasan/larangan kampanye transgender, terutama pada anak-anak.