SIARINDOMEDIA.COM – Setelah adanya desakan dari Raden Wisanggeni, Patih Sengkuni harus menyiapkan siasat lagi untuk mundur sementara. Setiap langkahnya selalu diiringi dengan gumaman, bukan wirid atau apa, tapi gumaman kebencian dan kekesalan.
Apalagi Sengkuni harus menerima salah satu keponakannya ditahan oleh Dewan Pewayangan karena laporan dari Bagong.
“Nyatu bocah gemblung! Ra ngerti apa yen Kurawa iki nduwe kuasa, awas koe Gong! (Dasar anak kurang ajar! Tidak tahu apa jika Kurawa ini mempunyai kekuasaan, awas kamu Bagong!),” ucap Patih Astina dari Kepatihan Plasajenar ini.
Setibanya di Astina, dia meminta ijin keponakannya Duryudana selaku Raja di Astinapura untuk menjenguk adiknya yakni Dursasana, yang beberapa waktu lalu ditangkap oleh KPK Pewayangan karena tertangkap basah melakukan tindak pidana korupsi.
Hakim yang bertugas memutuskan perkara yaitu Bathara Dharma. Bathara Dharma adalah Dewanya keadilan. Dia memutuskan Dursasana untuk ditahan dan akan dijatuhi hukuman mati.
Sengkuni yang memang terkenal licik, melangkahkan kakinya menuju Kahyangan Suralaya untuk menemui Bathara Guru sebagi ketua para Dewa.
Di Kahyangan Suralaya dia menghadap Bathara Guru yang tidak lain adalah Paman dari si Bagong itu sendiri. Karena Bathara Guru adalah adik kandung dari ayahnya, yaitu Semar.
Di hadapan Bathara Guru, Sengkuni mengutarakan maksud dari dirinya sowan, yang tidak lain adalah melobi agar Dursasana tidak dijatuhi hukuman mati dan dibebaskan.
Mendengar hal itu Bathara Guru menolak, karena pelanggaran yang dilakukan pejabat Astinapura adalah korupsi. Penolakan ini bertujuan agar pejabat-pejabat tinggi di negeri lainnya tidak menjadi tikus-tikus berdasi.
Namun seketika istri dari Bathara Guru yaitu Bathari Durga datang dan ikut nimbrung dalam pembicaraan itu. Bathari Durga secara mengejutkan juga ikut melobi suaminya agar menyetujui permintaan dari Sengkuni.
Bukan karena apa, mengingat sejarah kelahiran Kurawa dulunya adalah segumpal daging yang ditendang oleh Dewi Gandari hingga tercecer menjadi 100 bagian kecil. Seketika itu Sengkuni memanggil Bathari Permoni yang tidak lain adalah Durga untuk mengubah bentuk dari pecahan-pecahan daging menjadi sosok bayi.
Karena Bathari Durga adalah raja dari bangsa jin, maka pasukannya dari bangsa jin memasuki pecahan-pecahan daging. Kemudian jadilah pecahan-pecahan daging tersebut menjadi 99 bayi laki-laki dan 1 perempuan. Keseratus bayi inilah yang ketika dewasa disebut Kurawa.
Mengingat masa lalu itulah Bathari Durga ikut tersentuh ketika Dursasana harus ditahan dan akan dihukum mati. Maka Durga melobi Bathara Guru untuk membebaskan Dursasana. Alot memang perundingan ini, jikalau Dursasana dibebaskan maka sudah jelas terlihat, bahwa hukum di wilayah pewayangan ini menjadi tidak adil.
Namun semua itu terbutakan karena rayuan manis wanita dan rasa cinta. Bathara Guru yang awalnya menolak, harus merelakan keputusan untuk membebaskan Dursasana.

Tak karuan perasaan dari hati Bathara Guru saat ini. Bukan karena apa, namun reputasinya secara tidak langsung akan hancur. Tapi di sisi lain, permintaan ini juga diminta langsung oleh istri tercintanya.
Bathara Guru lalu menyiapkan syarat untuk Sengkuni, Dursasana bisa bebas asal Sengkuni dan Kurawa harus bisa menepati syarat yang diajukan Bathara Guru.
“Yen ngono, Kahyangan iki kudu kok bangun luwih apik, lan Kurawa kudu bisa nyepakake duwit gedhe kanggo jaminan si Dursasana (kalau begitu, Kahyangan ini harus kamu bangun yang lebih bagus, dan Kurawa harus menyiapkan uang dalam jumlah besar untuk menjamin kebebasan si Dursasana),” ujarnya.
Bak dihujani oleh hujan bunga, hati Patih Sengkuni dan Kartamarma yang ikut dalam perundingan laknat ini. Patih Sengkuni siap untuk menyanggupi syarat ini.
Namun Patih Sengkuni menanyakan, bagaimana jika Bathara Darma tidak setuju, mengingat Bathara Darma adalah Dewanya keadilan. Bathara Guru berkata jika nantinya proses pengadilan ini, akan mengganti hakim dari yang semula Bathara Darma digantikan oleh pasukan dari Bathari Durga bernama Driyasemu dari bangsa jin.
Bathara Guru juga meyakinkan, jika pergantian hakim ini nantinya akan dibuat seolah-olah keputusan Bathara Darma tidak menunjukkan bukti yang otentik.
Mendengar hal itu Patih Sengkuni, Kartamarma, dan Bathari Durga mohon ijin untuk undur diri dari hadapan Bathara Guru. Dengan segera Bathara Guru mempersilahkan, serta mengutus Bathara Panyarikan selalu sekertaris Dewan Pewayangan untuk memanggil Bathara Darma.
Di luar Gedung Istana Kahyangan Suralaya, Patih Sengkuni mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada Bathari Durga. Patih Sengkuni juga mengisyaratkan kepada Kartamarma untuk menyerahkan beberapa uang didalam koper dan perhiasan yang sudah dibawanya dari Astina sebagai tanda terimakasih.
Di dalam gedung istana, bukan main kagetnya Bathara Darma ketika mendengar keputusan bahwa ia harus digantikan posisinya sebagai hakim. Bahasa Darma merasa ada yang janggal dari hal ini. Namun apalah daya, dia hanya sebatas anak buah yang harus menuruti kehendak atasan.
Dengan berat hati Bathara Darma merelakan keputusan ini.
Setelah kepulangan dari Kahyangan Suralaya, Sengkuni menyampaikan kabar menyenangkan ini kepada Duryudana. Bukan main senangnya hati dari Duryudana. Dia segera menyiapkan pesta besar-besaran untuk menyambut kembali adiknya dan memerintahkan seluruh Kurawa untuk mengumpulkan uang dan emas guna diserahkan kepada Bathara Guru.
3 bulan setelah peristiwa perundingan dan persidangan yang penuh dengan kemunafikan ini. Dursasana diputuskan tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara.
Bagaikan seorang pahlawan yang pulang dari medan pertempuran, Dursasana disambut meriah oleh para Kurawa. Dihujani dengan bunga tujuh rupa yang wangi dan diberi untaian kalung melati di lehernya.
Tak hanya itu, Dursasana juga diarak menggunakan Rubicon oleh para Kurawa keliling Astina, melewati tapel wates Amarta dan Klampis Ireng.
Bagong yang melihat hal ini heran. Dia menggeleng-gelengkan kepala sembari melihatnya dari tapel wates Klampis Ireng.
“Lha kok isa ya (lha kok bisa ya),” gumamnya dalam hati.

Sambil melihat proses arak-arakan yang tidak jelas ini, Bagong memembangkan tembang Sinom karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, Pujangga Karaton Surakarta, berlaraskan Slendro Pathet Sanga dengan keras.
Amenangi Jaman Edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja begjane kang lali
Luwih begja, kang eling lawan waspada
(Menyaksikan zaman edan
Tidaklah mudah untuk dimengerti
Ikut gila tidak sampai hati
Bila tidak ikut melakukan
Tidak kebagian harta
Akhirnya kelaparan
Namun kehendak Tuhan
Seberapapun keberuntungan orang yang lupa
Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada (selalu berhati-hati).
(To Be Continued)
Ikuti selengkapnya kisah The Punakawan Series di Rubrik Sosial Budaya: