SIARINDOMEDIA.COM – Mengayuh sepeda jengki sejauh 7 km, membuat Bagong kembali beristirahat. Pandangannya tertuju pada sebuah jalanan setapak yang rimbun, dia terus menyusuri jalanan itu. Terlihatlah sebuah situs pemakaman tua. Bagong lalu memutuskan untuk duduk dibawah pohon aren yang terletak di samping situs pemakaman tua tersebut.
Situs ini merupakan sebuah punden (makam tua yang diyakini masyarakat sebagai sosok yang berpengaruh dulunya di desa tersebut). Makam ini tersusun atas bebatuan kuno berwarna abu-abu berukuran kurang lebih 15 cm X 5 cm dengan ketebalan sekitar 20-25 cm.
Makam berada dibawah pohon beringin besar dan dikelilingi oleh tembok. Semuanya tersusun dari bebatuan dengan jenis dan ukuran yang sama.
Sayangnya, tembok yang tersusun mengelilingi makam ini tidak terpasang dengan rapat, hanya terkesan ditumpuk, karena mungkin belum ada perhatian dari pemerintah setempat. Namun suasana aura kesakralan masih terlihat kental. Hal ini membuat peziarah yang datang merasakan aura positif di kompleks wilayah punden ini.
Makam ini terlihat sudah tua karena usianya yang mungkin sangat jauh di masa Bagong belum terlahir. Di area makam ini sendiri, situsnya terbungkus oleh kain mori putih yang di atasnya terdapat bunga-bunga.
Bunga ini nampaknya baru saja diletakan oleh peziarah yang datang ke punden. Ditengah-tengah makam juga terdapat dupa yang menebarkan bau harum bunga kenanga dan bau kemenyan Arab yang masih menyisakan asap, serta abu di perapiannya.
Sembari duduk di luar tembok makam, Bagong menghadap ke arah timur tepat di depan makam punden. Bagong mengucapkan salam, merapal doa-doa untuk leluhurnya yang diyakini dimakamkan di punden ini.
Bagong bukanlah orang yang kurang paham dalam hal urusan agama, bahkan hingga tega menyekutukan Tuhannya, namun dia hanya menghormati leluhurnya dengan mengirimkan doa.
Sambil duduk termenung, dia kembali ingin curhat terkait masalahnya. Bagong merasa sudah putus asa. Bahkan rasa percayanya pada para pejabat tinggi sudah mulai luntur.
“Korupsi lan watak sakkarepe dewe wus sumrambah ning jero atine para penggedhe, banjur rakyat iki arep dikapakke, apa rakyat cilik kaya aku mung arep di nggo dolanan? (Korupsi dan sifat sewenang-wenang sudah menyebar di hati para pemimpin, lalu rakyat ini mau diapakan, apa rakyat kecil seperti saya ini hanya dipermainkan?),” gumamnya.
Bener luput ala becik lawan beja
Cilaka mapan saking
Ing badan Priyangga
Dudu saking wong liya
Pramila den ati-ati
Sakeh durgama
Singgahana den aglis
(Benar,salah,jelek,dan bagus,demikian juga keberuntungan
Sesungguhnya celaka itu berasal dari
Diri pribadi masing-masing
Bukan dari orang lain
Maka dari itu berhati-hatilah
Dari banyaknya bahaya
Segeralah menyingkir agar tidak terkena imbasnya)
Begitulah setidaknya tembang Durma yang ditembangkan oleh Bagong dengan suara sayup-sayup di lokasi punden.
Namun dalam satu sisi, dia merasa tak pantas untuk mengeluh di tempat ini. Dia hanya teringat akan kisah perjuangan leluhurnya. Dimana leluhurnya berjuang keras untuk bisa membawa dampak positif bagi siapa saja, terutama orang di sekitarnya.
Hal inilah yang membuat Bagong sedikit lebih merasa bangkit kembali, karena teringat kisah perjuangan leluhurnya di punden itu.
“Ah ujianku Iki paling durung ana sak kuku ireng e, yen ta dipadakke karo panjenengan e (Ah ujianku ini, paling tidak ada sepucuk kuku jika dibandingkan dengan perjuangan beliaunya ini),” ucapnya.
Bagong juga merasa jika seseorang ingin menjadi orang yang disegani besoknya, maka banyak lika-liku kehidupan yang harus dijalani.
Dengan sedikit tersenyum dan wajah ceria, Bagong mengucapkan salam kembali di depan punden itu. Dia lantas kembali berdiri dan mengayuh sepeda jengkinya.
(To Be Continued)
Keterangan:
- Kisah ini ditulis oleh penulis di Punden Kyai Ageng Sengguruh, Desa Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Ikuti selengkapnya kisah The Punakawan Series di Rubrik Sosial Budaya: