SIARINDOMEDIA.COM – Keraton Gunung Kawi sering dianggap sebagai jalan pintas untuk kaya mendadak, sehingga kerap memunculkan stigma mistis dan sakral. Untuk membuktikan kebenaran kabar tersebut, penulis menelusuri langsung ke keraton yang berada di ketinggian 2.860 MDPL, Dusun Gendoga, Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang.
Berdasarkan Prasasti dari Tim Peneliti FISIP Universitas Brawijaya, keraton ini ada sejak abad ke-19. Empu Sindok, tokoh Kerajaan Medang Mataram, menjadikan tempat itu sebagai tempat ibadah kepada Sang Hyang Widhi. Ketika masa Raja Kameswara I, kawasan tersebut diubah menjadi pusat pelestarian budaya dan spiritualitas Jawa kuno. Budaya terus berlanjut hingga masa Majapahit dan dipercaya sebagai kawasan persemayaman leluhur Kerajaan.
Tak jauh dari sana, stigma mistis mulai tersibak tergantikan oleh potret kerukunan. Sebuah Gereja, Pura, Musholla, dan Vihara Dewi Kwan Im berdiri berdampingan. Sebagai simbol toleransi umat beragama dan menegaskan keraton ini menjadi pusat spiritual lintas iman. Agama apapun boleh berkunjung ke tempat ini, untuk memanjatkan permohonan kepada Tuhan lewat perantara makam leluhur di sini. Salah satunya tiga makam pengawal setia Eyang Tunggul Manik dan istrinya Eyang Tunggul Wati.

Puncak spiritual keraton adalah Pesanggrahan atau sanggar pemujaan, sebuah bangunan mirip kuil yang berdiri di atas puncak bukit. Untuk mencapainya harus menaiki 65 anak tangga beton dengan pagar warna oranye. Di depan ruangan sekitar 6×6 meter ini, ada dua patung kuda hitam bersayap yang gagah seolah menjaga pintu. Aroma dupa tercium memperkuat nuansa sakral. Abdul Munthalib, dosen PAI UIN Malang menjelaskan filosofi di baliknya.
“Patung kuda bersayap ini simbol bahwa dulu orang yang akan ke kawasan keraton harus naik kuda atau jalan kaki. Sayap memiliki makna agar doa cepat sampai ke langit, mudah dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa,” terangnya.
Sumber dana untuk perawatan dan pembangunan seluruh fasilitas keraton, berasal dari donasi para pengunjung. Mereka yang doanya terkabul, kembali untuk menunaikan janji atau nazar. Inilah rahasia di balik bangunan yang terawat baik.
“Semua barang dan bangunan di kawasan keraton, bukan dana dari pemerintah tetapi murni hasil donasi mereka yang sudah sukses setelah berdoa di sini. Tapi bermula dari pemilik Pabrik Bentoel yang datang ke pesarean untuk ziarah. Kemudian pemilik pabrik tersebut merasa mengalami perubahan pada hidupnya. Pabrik yang awalnya gagal dan bangkrut menjadi sukses besar. Jadi, mereka yang mempunyai tujuan khusus, berjanji akan memberikan suatu imbalan jika doa mereka dikabulkan oleh Tuhan.” terang Abdul Munthalib.
Puncak keramaian peziarah, terjadi pada Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Selain itu, terdapat festival yang digelar setiap tanggal 12 Suro untuk melestarikan warisan budaya dan spiritual yang terus hidup.
Jauh dari stigma mistis, Keraton Gunung Kawi justru menjadi tempat harmoni antara sejarah, Tradisi Kejawen, dan aneka keyakinan. Juru kunci keraton, Purnomo, meluruskan stigma yang berkembang di masyarakat. Keraton sebagai tempat perantara untuk memanjatkan doa kepada Tuhan, bukan lokasi untuk hal mistis dan praktik ghaib.

“Keraton ini simbol kerukunan umat beragama, bukan tempat pesugihan. Kami bangga punya situs sejarah yang dikenal luas, bahkan yang datang dari berbagai daerah. Makam leluhur atau tempat ibadah di sini hanya sebagai perantara, layaknya kamu ketika ziarah para wali, sunan, atau Ka’bah. Berdoa meminta berkah dan kelancaran rezeki tetap langsung kepada Tuhan, tapi perantaranya berbeda.” Tutur Purnomo yang menganalogikan fungsi keraton seperti tempat suci lainnya.
Ia melanjutkan, ada dua tujuan utama orang datang ke tempat ini.
“Pertama, rihlah ceria atau wisata untuk mempelajari sejarah, melestarikan budaya, dan mencari ketenangan. Kedua, wisata religi untuk memperdalam kedekatan dengan Tuhan lewat perantara, misal ziarah dan ritual. Jadi, kamu ingin tujuan yang mana, saya arahkan, asal tidak menyalahi etika dan aturan.” jelasnya.














