SIARINDOMEDIA. COM – Cuaca terik matahari menyengat begitu terik, namun angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat pepohonan bergoyang sayup, burung-burung berterbangan, kucing disekitar Desa Klampis Ireng bergurau riang dengan kawannya. Hal ini seolah berkata jika Desa Klampis Ireng adalah desa yang asri.
Bagong mengendarai sepeda pancalnya dengan kencang dari arah timur. Dia memakai kacamata hitam ala turis-turis bule, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi tertawa. Bagaimana tidak, hidungnya yang pesek membuat kacamatanya selalu turun.
Bahkan jika Bagong melihat, seolah-olah matanya mau lepas, karena matanya lebih lebar dari kacamatanya.
“Awas sumingkir-sumingkir, ketabrak pedaku dho tetanus lo mengko (Awas minggir-minggir, ketabrak sepeda saya, bisa kena tetanus nanti),” teriak Bagong.
Petruk, Gareng dan Semar yang sedang membersihkan aquarium ikannya, seketika kaget dan melihat kearah depan rumahnya.
“Kae sapa ta, bengak-bengok (itu siapa toh, teriak-teriak),” ucap Petruk bertanya pada semua yang ada di ruang tamu rumahnya.
Gareng dan Semar berjalan setengah berlari menuju luar rumahnya. Seketika nafas Ki Lurah Semar berhembus panjang.
“Hooalaaahh, laeee laeee mbegegeg ugeg-ugeg sadulito, hemel-hemel, koe ki nyapo ta Gong, numpah pedah bianter eram, tur bengak bengok (Oalah, Ucapan khas Kyai Semar, kamu ini kenapa sih Gong, naik sepeda sudah ngebut, ditambah teriak-teriak lagi),” ucap Kyai Badranaya, sapaan lain Kyai Semar.
Tiba-tiba mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, melihat ekspresi Bagong yang ngos-ngosan dipenuhi keringat bercucuran, dan kacamata hitam yang turun hingga hampir menyentuh bibir atasnya.
“Jal sawangen ta, praupane kaya Bule kecekel (Coba lihat wajah Bagong, wajahnya seperti Bule yang tertangkap polisi),” teriak Gareng mengejek adiknya.
Seketika Bagong, membetulkan letak kacamatanya dan berkata kepada kedua kakaknya.
“Heh koe ki ra ngerti pa yen bar iki ana grahana surya? (heh kalian ini tidak tahu apa, jika setelah ini ada gerhana matahari?),” tanyanya pada kedua kakaknya.
Kyai Semar sejenak mengajak anak-anaknya untuk duduk dan kembali ke rumah. Setelah duduk Kyai Semar bercerita. Kejadian gerhana ini bukan hanya sekedar gejala alam yang langka, namun menurutnya, gerhana adalah sebuah proses alam yang membawa tanda.
Salah satu tanda yang diyakini oleh Kyai Semar adalah, dimana titik pusat gerhana adalah zona manusia untuk melakukan doa kepada Yang Maha Kuasa. Melalui gerhana ini, diharapkan menjadi titik balik dari diri masing-masing.
Dari yang sebelumnya gagal menjadi berhasil, dari yang sebelumnya rendah menjadi berpangkat, dari yang sebelumnya jatuh menjadi bangkit kembali.
Karena itulah Kyai Semar mengajak anak-anaknya untuk sama-sama melakukan sholat gerhana.
“Weh la aku kadung nggawe kacamata e ma (waduh la saya sudah terlanjur memakai kacamata lo pak),” ujar Bagong kebingungan.
Gelak tawa seketika pecah. Tangan Bagong digandeng oleh Petruk dan menariknya ke kamar mandi.
“We ayo wudhu sik, sholat, gek nyawang grahana sak karepmu (wes ayo wudhu dulu, sholat, lalu melihat gerhana sampai kamu puas),” ajak pria berhidung mancung ini.
Setelah melaksanakan sholat gerhana, mereka berempat keluar ke rumah untuk sama-sama melihat gerhana matahari.
Bagong nampak antusias sekali. Kacamata hitamnya dikenakan kembali, lalu dia menengadah ke atas. Maklum Bagong selalu ingin tahu terhadap hal-hal yang ingin dia ketahui. Dia bahkan sampai membawa catatan kecil untuk mencatat apa yang sudah dia lihat.
“Lo koe ra nganggo kacamata ta Reng? (Lo kamu tak menggunakan kacamata ta Kak Gareng?),” tanyanya pada Gareng.
Gareng dengan lantang menjawab tidak, karena dirasa dia masih kuat untuk melihat gerhana matahari. Gareng bahkan dengan percaya diri mendangakkan langsung wajahnya pada langit biru.
“Wo bocah mendo, tambah picek sisan koe ki mengko (wo anak bodoh, tambah jadi buta nanti kamu),” ujar Bagong mengingatkan Gareng.
Lantas Petruk berinisiatif untuk untuk mengambil air di bak mandi hitam, tempat biasanya dia gunakan untuk menyiram tanaman di halaman rumahnya.
Dalam kaca air itulah bayangan matahari nampak tertutup oleh kegelapan hingga membentuk sabit. Hal ini membuat Ki Lurah Semar menembangkan tembang Sinom yang tertulis dalam serat Wedatama karya KGPA Mangkunegara IV
Anggung anggubel sarengat,
Saringane tan den wruhi,
Dalil dalaning ijemak,
Kiyase nora mikani,
Ketungkul mungkul sami,
Bengkrakan miring mesjid agung,
Kalamun maca kutbah,
Lelagone Dandang gendis,
Swara arum ngumandhang cengkok palaran.
(Hanya memahami soal kulit saja (sarengat saja)
Tetapi inti pokoknya tidak dikuasai
Pengetahuan mengenai tafsir dan aturan-aturannya
Serta suri tauladan, tidak diketahui.
Mereka hanya terlena, berbuat over akting ke Masjid Agung (tempat-tempat ibadah agar terlihat suci)
Bila membaca kotbah
Berirama Dandanggula yang berarti manis
Suara merdu bergema gaya palaran untuk meyakinkan para jamaah).
Bagong lantas bertanya, apakah nantinya juga akan rentetan peristiwa setelah terjadinya gerhana matahari ini kepada Ki Semar. Ki Semar lantas menjawab, jika semua pertanda alam ini semuanya diserahkan saja pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena dari semua kejadian yang ada, Tuhan sudah mengaturnya.
“Awakdewe ki mung saderma titah sing dadi wayange Gusti, sapa sing nandur ya kui sing bakal ngunduh le (Kita ini hanya sekedar manusia yang menjadi wayangnya Tuhan, siapa yang menanam, ya itu yang bakal menuai),” tuturnya dengan penuh makna.
Usai kejadian gerhana tadi siang, Bagong masih terngiang-ngiang akan ucapan Ki Lurah Semar. Dia sejenak berfikir, Jika Klampis Ireng ini masih saja meributkan soal toleransi dan perbedaan, maka kapan Klampis Ireng bisa menjadi desa yang maju, sementara di belahan negara lainnya, mereka sudah disibukkan dengan kemajuan peradaban.
“Ah timbang mumet, tak nonton tipi wae lah, sida kapan iki riayane (Ah, daripada pusing, saya tak melihat TV saja lah, jadi kapan ini hari raya Idul Fitrinya),” gumamnya.

Nampak Ki Lurah Semar, Petruk, dan Gareng sedang serius menatap layar televisi tabung di depannya. Siaran dari Bathara Narada selaku juru bicara dari pihak Kahyangan Karaton berbicara terkait hasil rapatnya melihat hilal.
“Wah, nak hilal e ning ngisor 3 derajad, brarti Sabtu Pon sesuk ki ya ma riayane (wah, jika hilalnya masih di bawah 3 derajad, berarti hari Sabtu Pon besuk ini ya pak lebaran Idul Fitrinya),” tanya Petruk pada Ki Lurah Semar.
Semarpun tersenyum menganggukkan kepala, namun sebelum semua bertanya lebih dalam lagi, Semar segera berkata.
“Nadyanta ana sing beda bab riaya, awakdewe ora oleh padha padu, merga kui wis dadi kapitayan dewe-dewe (Walaupun ada yang berbeda terkait penentuan tanggal Hari Raya Idul Fitrinya, tetapi kita tidak boleh saling bertengkar, karena semua itu tergantung dari kepercayaan setiap hitungan masing-masing),” pungkasnya dengan lemah lembut.
Seketika semua anak-anaknya segera beranjak untuk ke pawon, hal ini dikarenakan mereka harus membantu ibu mereka Dewi Kanestren untuk mempersiapkan jajanan hari raya Idul Fitri nanti.
(Bllwang, 20 April 2023 – 20:56 WIB)
(To Be Continued)
Ikuti selengkapnya kisah The Punakawan Series di Rubrik Sosial Budaya: