SIARINDOMEDIA.COM – Ketika langit sedang mendung, Kyai Semar beranjak dari tempat tidurnya.
Pria berperawakan khas dengan perut dan bokong yang besar ini menandakan bahwa Kyai Semar berwatak seperti Bumi. Selalu menerima apa yang ada, mengasihi walau pun dia sendiri sering dijadikan bahan ledekan.
Kyai Semar berprinsip, ‘Jika seseorang melemparmu dengan batu, maka balaslah dengan sekuntum bunga’.
Bukan tak ada maksud dari apa yang diprinsipkan Kyai Lurah di Klampis Ireng ini. Namun dia hanya mengajarkan “ketika angkara murka merajarela di muka bumi, setidaknya kamu masih bisa menjadi harum seperti bunga.”
Seketika dia terkaget, menyadari anak ragilnya yang paling ‘ndablek’ Bagong sudah membakar kayu bakar di Pawon, dengan meletakkan teko berisi air. Bagong bermaksud memasak air untuk wedang jahe.
“Eee laee laee, mbegegeg ugeg ugeg sadulita hemel-hemel, eh eh eh, Kowe kok ya wis ning kene ta le (Eee Lae Lae , mbegegeg ugeg ugeg sadulita hemel-hemel, eh eh eh, Kamu kok ya sudah disini (Pawon) nak),” ucap Kyai Badranaya pada Bagong.
Kyai Badranaya adalah nama lain dari Kyai Semar.
“Wes Ma, la aku ra isa turu e mau bengi, hawane adem banget (Sudah Pak, lagian saya tidak bisa tidur tadi malam, cuacanya dingin sekali),” ucap Bagong membalas.
Bagong mengambil ‘lincak’ kayu berukuran sekitar 10x20cm di sampingnya dan digeser di sebelah kanannya.
“Mbok lungguh kene, ben ra ngadek ae, ngko sambat linu linu neh (mbok duduk sini, supaya tidak berdiri saja, nanti mengeluh linu linu lagi),” imbuh Bagong.
Sambil berjalan menghampiri Bagong untuk duduk di sebelahnya, Kyai Semar tertawa dan menepuk pundak Bagong, Dia berkata dalam hati di antara anak-anaknya, walaupun Bagong ini nakal, but Bagong adalah anak yang paling perhatian dengannya.
Bagong menatap ke teko yang tertumpang diatas pawonan sambil menghembuskan nafas. Kyai Semar pun tanggap dan bertanya, mengapa kok wajah Bagong seperti memikirkan sesuatu.
Bagong mulai mengutarakan apa yang ada dipikirannya.
“Ma I think about we,” ucap Bagong yang sok keminggris dengan logat khas Jawanya.
Kyai Semar balik bertanya mengapa Bagong memikirkan tentang kita.
Bagong menjawab dia merasa resah, jengkel, dan khawatir, pasalnya banyak oknum oknum yang mengaku semua serba putih, menyalahkan dirinya. Tak hanya menyalahkan, lebih parahnya lagi adalah mengharamkan seolah dirinya dan kawan2nya adalah manusia-manusia tak berTuhan, dan haram untuk disentuh.
Kyai Semar pun tersenyum. Dia lalu menembangkan tembang Sinom Serat Joko Lodang.
“Wong Alim alim pulasan, Jaba Putih Jero Kuning, Ngulama mangsah maksiat, Madat madon minum main, Kaji kaji ambataning, Dulban kethu putih mamprung, Wadon Nir wadonira, Prabaweng saloka Rukmi, Kabeh Kabeh mung Matana tingalana,” Kyai Semar menembang.
Bagong kemudian bertanya apa maksud dari tembang tersebut.
Seketika bunyi teko berbunyi ‘Thiiiiitttttt…’.
Bagong segera tanggap untuk mengambil teko, lalu menuangkan air panas yang sudah masak ke gelas berisi deplokan jahe merah disertai sereh dan gula Jawa,
“Iki Ma nggo anget-angetan (ini pak buat menghangatkan tubuh),” ucap Bagong sambil menyodorkan wedang jahe yang sudah dia siapkan tadi.
Kyai Semar menerima gelas berisi wedang jahe dan mulai menjelaskan maksud dari tembang sinom yang dia tembangkan tadi.
Jaman sekarang, banyak orang yang mengaku alim dan ahli ibadah, tetapi itu hanyalah sebuah hiasan saja. Di luarnya kelihatan baik (putih), namun dalam hatinya kuning, alias perilaku dan apa yang diucapkan tidak sejalan. Banyak para pemuka agama yang berbuat maksiat, menghisap barang haram, bermain wanita, minum-minuman keras, dan berjudi. Banyak Haji yang melemparkan, dan melepas surban atau ikat kepala hajinya. Para wanita sudah banyak kehilangan kewanitaannya. Hal ini semua terjadi karena Tuhan mereka bukanlah Dzat Yang Maha Agung, namun Tuhan mereka adalah Harta Benda. Karena di jaman sekarang Harta Benda lah yang berkata untuk semuanya, begitupula tujuan dari mereka.
Bagong lantas bertanya.
“Ning njur piye yen awakedewe Iki dianggap haram utawa kafir ma, mangka awakedewe Iki ya isih nyebut asmane Gusti Ning Jero atine awake Dewe? (Tetapi bagaimana jika kita ini dianggap haram atau kafir pak, sementara kita masih menyebut nama Tuhan dalam hati kita, walau pun itu tak terlihat),” ucap Bagong.
Semarpun tersenyum kembali, sambil menyalakan sebatang rokok klobot beraroma khas yang wangi, Kyai Semarpun menjawab.
“Le, kafir, Haram lan orane kui gumantung niat lan tumindake. Angger e awakedewe niate apik tur ora nerak angger-angger, Aku yakin Gusti bakal paring pengayoman (Nak, kafir, haram dan tidaknya itu tergantung dari niat dan perilakunya. Selagi kita berniat baik dan berjalan sesuai pada porosnya, Bapak yakin Tuhan akan memberikan perlindungan),” ucap Kyai Semar di pagi itu.
(To Be continued)
Ikuti selengkapnya kisah The Punakawan Series di Rubrik Sosial Budaya: