SIARINDOMEDIA.COM – Ada gelap ada terang. Ada siang ada malam. Ada besar kecil, tua muda, positif negatif, pria wanita, feminim maskulin, dan sejumlah pasangan lain yang saling berlawanan. Ini adalah kodrati yang ada dalam kehidupan manusia. Ada baik buruk, ada setan malaikat, itulah isi kehidupan.
Demikian halnya dalam politik, juga ada sesuatu yang berhadap-hadapan sebagai lawan kawan, kelompok A dan B, pendukung 01 dan 02, dan seterusnya. Inilah politik oposisi biner yang membelah politik dalam dua aras yang bertolak belakang.
Keberadaan si kaya tak mungkin sendiri, dia butuh si miskin. Disebut orang kaya karena ada yang miskin. Kaya miskin itu kondisinya bertolak belakang, namun sejatinya antara keduanya saling melengkapi. Demikian halnya dalam kontestasi politik, kalau ada yang jadi pemenang, maka pasti ada yang kalah. Kalau ada yang beruntung jadi pemimpin, maka pada sisi yang lain, pasti ada yang harus mau dipimpin. Sang pemimpin butuh rakyat, demikian halnya rakyat juga perlu kehadiran pemimpin.
Dalam kontestasi menuju pilpres 2024 permainan politik biner sudah sangat kentara. Ada kandidat yang menganggap dirinya yang paling baik, sementara yang lain dianggap buruk. Rivalitas antar kandidat pun muncul. Selanjutnya memecah simpatisan dan pendukung fanatik masing-masing kandidat dalam kubu yang berseteru.
Biner Dalam Politik
Awal munculnya oposisi biner dikenalkan oleh ahli bahasa yakni Ferdinand de Saussure.
Saussure mendefinisikan oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A dan kategori B, dan dengan memakai pengategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B.
Hanya dikenal ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain.
Misalnya dalam sistem biner laki-laki dan perempuan, daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang disebut laki-laki karena dia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena dia bukan lautan. Sesuatu bisa disebut baik karena ada yang buruk, begitu seterusnya.
Biner adalah sistem bilangan yang sistem penulisannya hanya terdiri dua simbol yakni 0 dan 1. Menurut Claude Levi Strauss, biner adalah produk dari sistem penandaan. Biner berfungsi untuk menstrukturkan persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan dan makna.
Strauss juga menyebutkan konsep dasar dari oposisi biner yaitu the second stage of the sense making process. Penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah yang kongkrit untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak.
Dalam politik, biner menciptakan simbol sosok pahlawan dan penindas. Simbol sang pemimpin yang peduli dan memperjuangkan kepentingan rakyat versus pemimpin yang abai pada rakyat. Dalam situasi ini telah terjadi perang simbol, satu dengan yang lain tak sama. Diantara keduanya berusaha mencari pembeda agar punya nilai tawar (positioning) yang kuat di hati rakyat. Dalam mencari posisi pembeda ini, tak jarang sang kandidat hanya berfikir yang penting beda dengan yang lain.
Kalau kandidat yang satu menawarkan program A, maka kandidat kedua berusaha membuat program yang lain, yang penting bukan program A. Sang kandidat pengusung program A meyakini bahwa hanya programnya yang paling bagus. Sementara sang kandidat kedua meyakini bahwa program A sebagai program yang buruk dan hanya program yang ditawarkan kandidat kedua sebagai yang terbaik.
Dalam situasi ini, masyarakatlah yang berwenang menilai mana yang terbaik menurut persepsi mereka masing-masing.
Yasraf Amir Piliang (2003) dalam bukunya yang berjudul “Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial” menyatakan bahwa situasi dan cara berfikir oposisi biner akan melahirkan friend-unfriend, like-dislike, leave-join, on-off, follow-unfollow.
Perilaku politik biner ini diperparah dengan adanya media sosial yang melahirkan simpatisan dan pendukung fanatik masing-masing kubu banyak memroduksi pesan-pesan politik yang saling serang. Kontestasi politik lebih dilihat dalam perspektif satu putih dan yang lain hitam.
Pemerintah Versus Oposisi
Dalam politik oposisi biner, adanya pemerintah di satu sisi, dan munculnya kelompok oposisi disisi lain merupakan sebuah kewajaran. Secara ideal, lahirnya kelompok oposisi justru menjadi sesuatu yang penting.
Kehadiran kelompok oposisi bisa menjadi sarana yang dapat mengontrol pemerintah. Kelompok oposisi akan memainkan peran dalam melakukan kontrol pada penguasa (check and balance). Politik akan berjalan seimbang ketika pemerintah dan kelompok oposisi memainkan perannya masing-masing.
Tanpa kelompok oposisi jalannya pemerintahan bisa pincang. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah bisa tak terkendali. Oposisi harus hadir menjadi penyeimbang sekaligus mewakili kelompok masyarakat yang tak setuju dengan apa yang dijalankan oleh pemerintah.
Karena saat pemilihan presiden ada kubu yang mendukung pasangan 01 dan kelompok ini yang menang misalnya, maka bagi mereka yang tak mendukung sang pemenang harus tetap diakomodasi suaranya.
Dalam demokrasi, lahirnya oposisi menjadi sebuah keniscayaan. Absolut power yang dimiliki oleh pemerintahan yang sedang berkuasa harus dijaga agar jalannya kekuasaan itu tak jadi otoriter dan korup.
Kelompok oposisi punya tugas yang mulia dalam turut memastikan laju pemerintahan berjalan on the track. Tentu peran oposisi yang diharapkan adalah oposisi yang konstruktif, bukan sekedar dengan semangat pokoknya harus beda dengan pemerintah. Oposisi tak musti menganggap semua yang dilakukan pemerintah itu buruk. Masing-masing posisi harus menjunjung fair play.
Dalam politik biner, rakyat memang bisa terbelah menjadi dua kutub yang berseberangan. Yang penting bagaimana menjaga segala perbedaan yang ada di masyarakat itu sebagai hal yang lumrah dan wajar.
Kalau pemahaman tentang keberadaan dan peran masing-masing posisi berjalan ideal, maka pemerintahan yang demokratis akan bisa terwujud. Yang penting bagaimana semua pihak mampu menjaga agar beragam perbedaan tak memicu polarisasi di masyarakat. (*)
Artikel merupakan sumbangan tulisan dari Sugeng Winarno S.Sos, M.A.
* Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang