SIARINDOMEDIA.COM – Bagi Anda penggemar sekuel ‘Terminator’, tentu bisa membayangkan betapa mengerikannya ketika mesin yang awalnya diciptakan untuk mempermudah aktivitas manusia, bisa berpikir dan berkehendak sendiri. Kecerdasan buatan yang ditanamkan pada mesin-mesin tersebut, akhirnya malah berbalik menjadi momok menakutkan bagi penciptanya, manusia.
Bergenre science-fiction, film waralaba yang dibintangi Arnold Schwarzenegger dan Linda Hamilton itu bukanlah sekedar film fiksi belaka. Potensi terjadi beneran dalam kehidupan nyata, sangat terbuka. Meski mungkin (mudah-mudahan) tidak sampai seekstrim di film ‘Terminator’.
Bahayanya pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan nyaris dalam segala aspek kehidupan manusia ini sebenarnya sudah disuarakan banyak ilmuwan, termasuk dari kalangan dokter dan pakar kesehatan.
Menurut mereka, berbagai penelitian dan pengembangan AI harus dilakukan hati-hati dan terkendali sampai penggunaan dan teknologinya diatur dengan benar.
Dalam jurnal BMJ Global Health yang belum lama ini dipublikasikan, sejumlah ilmuwan mengungkapkan tipe-tipe AI tertentu menimbulkan ‘ancaman eksistensial bagi umat manusia’.
AI memang berperan besar dalam transformasi pesat di bidang kedokteran yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun tanpa regulasi yang ketat dalam penggunaannya, AI bisa saja malah menimbulkan beberapa dampak negatif, demikian paparan penelitian yang dirangkum dalam jurnal tersebut.
Penelitian itu dipimpin oleh Dr. Frederik Federspiel dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, yang dibantu para pakar dari Amerika Serikat, Australia, Kosta Rika dan Malaysia.
Mereka mengingatkan bahwa kemampuan AI untuk mengumpulkan, mengolah dan menganalisa data dalam jumlah yang sangat masif dan dengan kecepatan yang luar biasa, bisa digunakan untuk memanipulasi perilaku manusia.
Pengolahan data serta gambar pribadi, juga memungkinkan untuk disalahgunakan dalam praktik-praktik politik. Sebut saja dugaan kecurangan dalam Pilpres AS (2016), Pilpres Perancis (2017), Pemilu di Kenya (2013-2017), dan masih banyak lagi.
“Ketika dikombinasikan dengan kemampuan mendistorsi atau menggambarkan realita palsu, sistem informasi yang digerakkan AI dapat merusak demokrasi dan menyebabkan runtuhnya kepercayaan secara umum,” para peneliti mewanti-wanti.
Selain itu, mereka menambahkan, ada efek lain yakni memicu perpecahan dan konflik sosial. Dan yang tak kalah berbahayanya, dampaknya merembet pula pada pelayanan kesehatan masyarakat.
Pengawasan berbasis AI kini juga dimanfaatkan untuk mengontrol dan membatasi kebebasan seseorang. Sebagai contoh, Sistem Kredit Sosial yang diterapkan Pemerintah China. Sistem itu menggabungkan perangkat lunak pengenal wajah dan gudang penyimpan ‘big data’ mulai dari transaksi keuangan, mobilitas, catatan kepolisian, serta hubungan sosial setiap orang.
Yang mengkhawatirkan, saat ini tak kurang dari 75 negara yang mengadopsi sistem tersebut. Bahkan di negara-negara liberal yang memuja kebebasan individu. Mesin kini telah menjelma menjadi ‘tuhan’ yang mengetahui segala gerak gerik manusia.
Para peneliti juga menyoroti ancaman lainnya, yakni pengembangan Sistem Senjata Otonom Mematikan (LETHAL Autonomous Weapon Systems/LAWS). Drone, misalnya. Perangkat ini dapat menemukan, memilih dan menyerang target yang telah ditentukan. Karena bekerja secara otonom, perangkat ini dapat membinasakan manusia tanpa pandang dulu ‘dalam skala industri’ alias secara massal.
Di masa depan, meningkatnya penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan dalam skala luas juga akan menghapus jutaan pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan yang secara konvensional dikerjakan manusia, bakal diambil alih oleh mesin. Hal ini tentu bisa menimbulkan masalah sosial yang sangat kompleks.
“Kendati ada banyak manfaat untuk pekerjaan yang repetitif, berbahaya dan membosankan, kita tahu bahwa pengangguran selalu berkaitan dengan buruknya perilaku dan pelayanan kesehatan,” kata para peneliti.
Perluasan otomatisasi, cenderung memusatkan pendapatan dan kekayaan ke para pemilik modal. Ini menyebabkan distribusi kesejahteraan yang kian tidak merata di seluruh dunia.
“Kami tak tahu bagaimana masyarakat merespon secara psikologis dan emosional pada dunia di mana pekerjaan tak tersedia atau tak diperlukan lagi. Kami juga tidak terpikir soal kebijakan dan strategi yang dibutuhkan untuk memutus keterkaitan antara pengangguran dan kesehatan yang buruk,” para peneliti menambahkan.
AI yang memiliki kemampuan meng-upgrade dirinya sendiri (Artificial General Intelligence/AGI) adalah ancaman besar karena bisa belajar dan mengambil alih berbagai tugas manusia.
“Kita selalu tergoda untuk menciptakan mesin yang jauh lebih cerdas dan powerful dibanding diri kita sendiri. Potensi mesin semacam ini, baik disengaja atau tidak, dapat membahayakan dan mengancam manusia. Itu adalah sesuatu yang nyata dan harus dikendalikan,” ungkap Dr. Federspiel dkk.
Menurut mereka, koneksi AGI ke internet dan dunia nyata, termasuk melalui kendaraan, robot, senjata dan sistem digital, menegaskan tengah berlangsungnya ‘peristiwa terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia’.
Demi menghindari kekacauan eksistensial akibat pengembangan AI dan AGI tanpa kontrol, dibutuhkan kesepakatan dan kerja sama internasional. Hal ini demi menghindari ‘berlomba-lomba menciptakan kecerdasan buatan’ tanpa pertimbangan jauh ke depan yang nantinya justru bisa bersifat destruktif.
Elon Musk pun turut mengamini. CEO Tesla, SpaceX & Twitter ini bahkan menyerukan penghentian sementara pengembangan AI setidaknya selama 6 bulan ke depan.
Dalam sebuah interview akhir Maret lalu, Musk menegaskan dukungannya terhadap rencana pemerintah negaranya untuk mengatur AI.
“Tidaklah menyenangkan untuk diatur-atur. Tetapi begitu AI ‘memegang kendali’, mungkin sudah terlambat untuk menetapkan peraturan (regulasi terkait AI, red),” ucapnya di interview tersebut.
Menyadari ancaman AI di masa depan, salah satu orang terkaya di dunia ini selama beberapa tahun terakhir kerap melontarkan kekhawatirannya terhadap pengembangan kecerdasan buatan dalam banyak aspek kehidupan manusia.
“Camkan ucapan saya. AI jauh lebih berbahaya daripada nuklir,” tegasnya.
Para pakar yang terlibat dalam penelitian mengenai dampak negatif AI dalam kehidupan manusia, secara umum juga menyarankan agar peran AI tak sampai menggerus demokrasi, mengacaukan institusi kepentingan publik, menimbulkan konflik sosial, dlsb.
Intinya, sebagai penciptanya, manusia harus memiliki kontrol penuh atas mesin yang bekerjanya berbasis kecerdasan buatan.
“Ini termasuk memastikan transparansi dan akuntabilitas kompleks industri militer yang getol mendorong pengembangan AI. Begitu juga dengan media sosial yang (algoritmanya) memungkinkan penyebaran informasi palsu yang ditargetkan dan digerakkan oleh AI untuk merusak institusi demokrasi dan hak-hak privasi seseorang,” demikian kesimpulan para pakar dalam jurnal tersebut.
Terimakasih untuk informasi terkait bahaya AI bagi manusia. Berbagai macam teknologi Virtual Reality dan lainnya dimanfaatkan berbagai bidang dan industri. Virtual 3D merupakan satu bentuk teknologi yang berbasis Virtual Reality dengan 3 Dimensi.