Tulisan Dr. Imam Muhajirin Elfahmi SH, S.Pd, MM,
Jaringan Indonesia Berdaya
Penerima Anugerah Insan Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila 2024.
SIARINDOMEDIA.COM – Baru-baru ini, ada kasus di Kota Batu Jawa Timur yang barangkali membuat hati kita semua miris, bersedih dan mengelus dada. Bagaimana tidak, seorang anak yang baru menginjak remaja: usia 13 tahun, di-bully oleh lima rekan sebayanya. Tak sekar bulian verbal lewat cacian maupun hinaan saja, tapi juga ada tindakan fisik hingga berujung kematian. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Apa yang telah terjadi tersebut sebagai gambaran betapa rapuhnya nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila. Aksi bully itu sudah bertabrakan dengan Pancasila dalam Sila ke-2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Seperti dalam butir ke-3 disebutkan: mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. Disusul pada butir ke-4 berbunyi, mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
Saya rasa banyak faktor yang mempengaruhi anak-anak remaja tersebut bertindak kekerasan itu. Selain dari diri pribadi, kondisi lingkungan pergaulan dan termasuk media sosial juga memberi berdampak signifikan menjadikan karakter anak-anak menjadi beringas. Apalagi pengawasan dari lingkungan keluarga dan sekolah lemah. Sehingga menjadikan anak kian lepas kontrol dan bertindak jaug dari norma-norma.
Patut jadi perhatian kita semua. Saat ini, fenomena yang terjadi, adab atau unggah-ungguh anak-anak sudah jauh menurun dibandingkan dengan di zaman dulu. Hubungan antara anak dengan orang tua seperti sudah tidak ada sekat. Anak menganggap orang tua atau gurunya seperti teman biasa saja. Sehingga tatakrama baik tutur kata dan perilaku terabaikan.
Saya rasa kondisi ini tidak boleh terus dibiarkan. Negeri ini dibangun dengan budi pekerti dan nilai budaya yang sangat luhur. Jangan sampai terjadi, fondasi nilai-nilai baik yang terinternalisasi dalam sila Pancasila tersebut terkikis. Bila itu terjadi, identitas bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran terancam hilang.
Melalui berbagai program pelatihan terhadap anak-anak muda yang sudah berjalan bertahun-tahun, salah satunya menyiapkan generasi muda menjadi pemimpin masa depan berintegritas dan visioner. Mereka juga mempunyai jiwa kemandirian tinggi. Sehingga tidak gampang terpengaruh hal negatif di lingkungannya.

Dari pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan tersebut, anak-anak muda yang biasa saya sebut dengan “santri” telah menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana dimaksud di atas.
Mereka bisa memiliki jiwa dan karakter untuk cinta terhadap tanah air melalui usaha kemandirian. Sebagaimana arti dari karakter sendiri yakni watak, perilaku, tabiat maupun kepribadian, para santri yang telah berhasil memiliki karakter sesuai nilai Pancasila, maka dia telah menjadi insan kamil.
Bukankah, dalam Islam sebagai agama yang lengkap juga banyak anjuran terhadap umat untuk punya karakter mulia. Seperti di antaranya perintah untuk selalu berbuat baik (ihsan), berkebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa), sabar dan sebagainya.
Sebagaimana dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan karya Slamet Widodo, M.Pd, indikator seseorang disebut baik itu ada tiga aspek utama. Yakni yang cerdas (civic intelligence), bertanggung jawab (civic responsibilty), dan berpartisipasi (civic participation). (Winataputra, 2005).

Kembali ke urusan cinta tanah air, yakni Ketika warga punya karakter melindungi, menjaga dan mempertahankan potensi dan sumber daya di negeri ini. Namanya cinta, maka yang dirasakan harus ada rasa memiliki, rasa sayang. Dan juga memiliki rasa kekhawatiran ketika apa saja yang dicintai ini akan dirusak atau diganggu.
Demikian pula ketika sudah punya kemandirian dan tumbuh rasa cinta terhadap tanah air, maka muncul rasa kebanggaan terhadap bangsanya sendiri. Punya rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas terhadap negara di mana dia tinggal. Dia akan menjaga dan menghormati adat dan budaya serta melestarikannya.
Keberlangsungan adat dan budaya yang sudah lahir dan tumbuh selama ratusan tahun di negeri ini akan terus terjaga. Tidak mudah budaya lain bisa melunturkan bahkan menghapus budaya yang sudah mengakar di hati bangsa ini.
Di sinilah pendidikan karakter dan jiwa mandiri akan terus dilakukan dalam berbagai forum demi tercipta Indonesia Gemilang 2045. Terwujud Indonesia dengan penuh kemandirian dan berdaya. (*)
(To be Continued)

* Artikel ini merupakan sumbangan dari tulisan Dr. Imam Muhajirin Elfahmi SH, S.Pd, MM.
Penulis yang juga biasa disapa Coach Fahmi, adalah Penerima Anugerah Insan Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) 2024.
Penulis aktif di ‘Kajian Spirit Gemilang’ yang diinsiasi Nusantara Gilang Gemilang (NGG) atau komunitas para pengusaha.
Kajian Spirit Gemilang rutin dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Kajian ini banyak mengupas mengenai narasi kepemimpinan dalam upaya memberi kontribusi, utamanya di bidang ekonomi, pendidikan dan politik.