SIARINDOMEDIA.COM – All eyes on Papua menjadi salah trending di media sosial belakangan ini setelah hutan Boven Digul seluas 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta akan diubah menjadi perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.
Pada tanggal 27 Mei lalu, masyarakat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, berdemo untuk menolak pembabatan hutan ini.
Mereka berharap Mahkamah Agung bisa mempertahankan hutan yang menjadi sumber hidup, pangan, budaya, dan air bagi suku asli Papua ini.
Hutan adat memang seharusnya dirawat dan dikelola oleh masyarakat asli setempat. Karena masyarakat adat lebih bisa menjaga hutan tersebut dengan baik.
Di tangan masyarakat adat, hutan alam akan tetap lestari dan mencegah lepasnya 25 juta ton emisi karbon dioksida ke udara. Dimana bila emisi sebesar 5% ini dilepas ke udara, tidak hanya membahayakan masyarakat Papua, tapi juga seluruh warga dunia.
Al-Quran juga menyebut isu semacam ini. Sebagaimana yang tertulis dalam surah Al-Anbiya’ ayat 107:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
WA MÂ ARSALNÂKA ILLÂ RAḪMATAL LIL-‘ÂLAMÎN
Artinya: Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dimana melestarikan alam adalah bagian dari spiritualitas. Karena hutan adat yang dijaga oleh masyarakat adat sedang meneruskan praktik turun-temurun yang dicontohkan nenek moyang. Para pendahulu ini sebagian juga menerapkan ajaran agama Islam untuk membawa keberkahan bagi alam semesta.
Masyarakat adat juga memiliki rasa untuk menaati hukum adat karena rasa kepemilikan yang tinggi. Hutan dan hukum adat memang memiliki keterkaitan yang erat bagi suku Awyu dan Moi karena hukum adat yang berlaku untuk masyarakat adat tidak hanya hukuman kurungan seperti sanksi negara, tetapi juga sanksi sosial. Seperti dikucilkan, tidak diberi bantuan saat membutuhkan, hingga diusir dari tempat tinggalnya
Hutan adat dan masyarakat adat memang tidak bisa dipisahkan. Karena di tempat ini ada keseimbangan ekosistem dan sumber kehidupan yang terus dijaga dan diwariskan bagi generasi selanjutnya.
Sehingga kita perlu bijak dalam mengelolanya sesuai dengan kearifan lokal dan hukum adat yang berlaku. Kerusakan ekosistem hutan dan lingkungan sekitar pun dapat diminimalisir.
Karena bila hutan diubah menjadi kebun sawit, penanaman pohon sawit ini akan mengambil alih fungsi hutan adat yang justru merusak ekosistem. Pohon-pohon sawit ini pun mudah rusak karena penyadapan getah besar-besaran yang tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, hasil hutan adat mempunyai nilai yang lebih tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Jaisa, ketua Pengurus Harian Daerah PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), menginisiasi masyarakat adat khususnya perempuan adat untuk mengelola sumber daya hutan, seperti biji kopi.
Sehingga hasil alam yang telah diolah ini bisa memiliki nilai ekonomi 3-5 kali lebih tinggi dibanding saat saat masih menjadi gabah kopi. Jadi bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua.