SIARINDOMEDIA.COM – Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Malang menyoroti masih minimnya perlindungan sosial terhadap buruh, termasuk hak buruh yang masih sedikit yang dipenuhi. Padahal hal tersebut telah dijamin oleh undang-undang.
Hal itu disampaikan Prof Devanto Shasta Pratomo, SE, M.Si, Ph.D. Guru Besar FEB UB yang mengkritisi Ketenagakerjaan di Indonesia, bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei.
Menurutnya sekitar 60% dari tenaga kerja di negara ini bekerja di sektor informal. Dimana artinya para buruh tersebut tidak memiliki cukup perlindungan sosial dan tidak mendapatkan hak-hak buruh yang dijamin oleh undang-undang.
“Dampaknya, tingkat upah rata-rata pekerja di Indonesia termasuk kesejahteraannya, masih berada dibawah upah rata-rata,” ungkap Prof Devanto kepada reporter Siarindo Media, Senin (1/5/2023).

Data BPS menunjukkan rata-rata tingkat upah nominal pekerja di Indonesia adalah menurun dari Rp2,9 juta pada 2019 menjadi Rp2,7 juta pada 2021 selama pandemi.
Demikian juga produktivitas tenaga kerja Indonesia turun menjadi sebesar US$13,1 per jam pada tahun 2022 yang menempatkan Indonesia berada di urutan ke-107 dari 185 negara dan bahkan setara dengan negara kecil seperti Maladewa (data ILO).
Guru Besar bidang bidang Ekonomi Ketenagakerjaan ini menambahkan, pemerintah telah merespon dampak negatif dari pandemi terhadap pasar kerja di Indonesia dengan cukup baik.
Meskipun demikian respon pemerintah masih terfokus pada pengelolaan jangka pendek, seperti bantuan sosial, subsidi upah, dukungan terhadap UMKM, insentif terhadap pelaku usaha, maupun kartu prakerja.
Prof Devanto menilai, respon kedepan perlu lebih berjangka panjang yang mendorong seluas-luasnya reformasi struktural, yang memberikan peluang investasi pada sektor-sektor yang padat karya berkualitas untuk tumbuh. Sekaligus membuka peluang untuk mengakomodir masa depan ketenagakerjaan Indonesia yang lebih terotomisasi dan ramah terhadap digital.
Penetapan upah minimum yang layak sesuai kondisi perekonomian juga menjadi kunci, dimana kebijakan upah minimum yang terlalu tinggi juga akan menjadi bumerang bagi terserapnya pekerja di sektor formal.

Dia menguraikan, apabila tetap menggunakan formula perhitungan nasional seperti sekarang, yang menurutnya hal ini baik karena mengurangi ketidakpastian. Tentunya tetap diperlukan ruang untuk dialog sosial, yang dia istilahkan Collective Bargaining atau untuk mencapai keputusan yang berbeda atas dasar pertimbangan tertentu sesuai dengan karakter masing-masing daerah.
Formula upah minimum yang sederhana tetap perlu diperjuangkan mengingat akan lebih mudah dioperasikan dan dikomunikasikan dengan stakeholders.
Formula yang terlalu sering bergonti-ganti juga tidak akan baik mengingat para pelaku usaha dan pekerja juga mengharapkan kepastian yang dapat menggerakkan produktivitas secara berkelanjutan.
Dari sisi supply, peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu terus menjadi perhatian, yakni melalui Upskilling dan Reskilling.
Termasuk didalamnya investasi dalam pengembangan infrastruktur dan literasi digital sebagai syarat penyiapan tenaga kerja di masa yang akan datang.
Dengan berkembangnya Gig Workers atau pekerja-pekerja yang ramah digital, maka sangat diperlukan juga ketepatan regulasi.
Dalam UU Cipta Kerja memang telah diatur aturan tentang pekerja kontrak waktu tertentu (PKWT). Misal perjanjian kerja, aturan masa kerja, kewajiban pembayaran kompensasi bagi karyawan kontrak, dan perhitungan uang kompensasi.
Sebelum menutup perbincangan, Prof Devanto menuturkan, bahwa aspek kelayakan yang rendah terutama terkait masalah upah yang layak. Termasuk juga jaminan kesehatan, dan status hubungan kemitraan seringkali menimbulkan polemik dalam relasi kerja antara pekerja platform digital dan perusahaan masih menjadi tantangan dan PR besar bagi negara ini.