THE PUNAKAWAN SERIES (PART 2)

SIARINDOMEDIA.COM – Adzan Dhuhur terdengar indah berkumandang dari langgar Dusun Klampis Ireng. Muadzin yang bertugas kali ini adalah anak mbarep dari Kyai Semar, Nala Gareng.

Nala Gareng adalah seorang yang gigih, pede, dan kuat pada pendiriannya. Gareng tak pernah minder dengan siapa pun, meski dia diberi keterbatasan fisik. Tangannya yang cacat dan matanya yang julig tak menjadi penghalang buatnya untuk selalu berbuat baik pada siapapun, termasuk menjalankan dharmanya sebagai ‘Titah Gusti’.

Link Banner

Gareng tak pernah mengeluh sedikit pun karena hal fisiknya. Baginya, fisik bukanlah apa-apa, yang terpenting adalah hatinya.

Kakek Semar datang bersiap sholat berjamaah, sesudah mengambil air wudhu dan sholat tahiyatul masjid, Kyai Semar segera duduk di shaf depan sambil mulutnya berkomat-kamit menyebut asma Tuhan.

Tangannya yang gemuk mengambil sebuah bungkusan di pojok langgar, membukanya dan mengambil sebatang benda berbentuk seperti kembang api panjang. Dia lantas membakarnya.

Link Banner

“Lololo Ma Ma, waduh njenengan Niki pripun, mpun ngobong ngoten ngoten niku, mangke mundak cilaka (Lololo Pak Pak, waduh bapak jangan membakar benda benda seperti itu di dalam mushola, nanti akan mendapat bahaya Lo),” ucap Gareng sambil meniup api yang membakar korek yang terbuat dari kayu itu.

Kyai Semar tidak marah. Dia lantas menoleh ke anaknya Gareng dan tersenyum.

“Eee laee laeee mbegeg ugeg ugeg sadulita hemel-hemel, la ngapa kok Ra oleh?. Apa ana sing kleru tumrape tumindakku? (Kalimat Khas Kyai Semar, la kenapa kok tidak boleh?. Memangnya ada salah dengan apa yang saya lakukan?),” ucap Kyai Semar pada anak pertamanya.

Gareng dengan sigap mengatakan, jika sampai orang-orang tahu Kyai Semar melakukan hal seperti itu, Gareng takut, Bapak yang paling dicintainya itu akan dianggap sesat oleh orang-orang di Klampis Ireng.

Seketika Semar tertawa dengan terkekeh- kekeh. Dia kemudian kembali membakar dupa beraroma khas bunga kenanga yang ia pegang, mulutnya kembali berkomat kamit, lalu menancapkan pada ‘gendok’ yang sudah diisi pasir untuk tempat menancapkan dupa.

Dengan terbengong Gareng melihat tingkah laku bapak satu-satunya itu.

Kyai Semar lantas menepuk pundak Gareng dan mengingatkannya.

“Ayo, Sembahyang Lohor disik (Ayo Sholat Dzuhur dulu),” ucapnya pada Gareng.

Gareng menoleh ke arah belakang yang ternyata sudah banyak jamaah yang akan mengikuti sholat berjamaah. Gareng pun segera mengambil mikrofon dan mengumandangkan iqomah.

Setelah sholat dan doa dilakukan, para jamaah berbondong-bondong keluar dari langgar untuk meneruskan pekerjaannya. Ada yang kembali kesawah untuk ‘tandur’, ada yang ke kandang sapi untuk membersihkan kandang, ada juga yang kembali ke rumah untuk mengerjakan kerajinan Home Industri Made in Klampis Ireng.

Maklum, di Dusun Klampis Ireng masyarakatnya rata-rata adalah orang desa yang berikhtiar mencukupi kebutuhan hidupnya dengan apa yang mereka bisa untuk dijual di Ibukota Amarta dan sebagian diekspor ke Negara Astinapura.

Gareng segera mendekati bapaknya, bermaksud untuk bertanya apa yang sebenarnya dilakukan bapaknya. Karena menurut pandangannya dari pergaulannya dengan orang-orang yang sering ‘ngaji pagi’ dengannya. Benda-benda seperti itu tergolong banyak negatifnya, karena dapat mengundang bala tentara jin dan syaitan yang mengganggu manusia.

Terlebih lagi Gareng khawatir, jika Bapaknya berhubungan dengan benda-benda seperti itu, nantinya bapaknya akan menyembah kepada Dzat selain Tuhan Yang Maha Esa.

Kyai Semar lantas tertawa dan kemudian menarik nafas panjang.

“Le tak kandani ya (Nak Bapak beri tahu ya),” ucap Kyai Badranaya membuka pembicaraan.

Maksud dan tujuan dari dirinya membakar dupa adalah untuk membuat suasana langgar menjadi harum, tenang, dan diharapkan para jamaah bisa lebih khusuk untuk beribadah kepada Tuhan.

“Para Malaikat juga seneng marang barang kang angganda arum (Para Malaikat juga senang terhadap barang yang berbau harum),” imbuh Kyai Semar.

Kyai Semar menjelaskan jika jumlah dupa yang dia bakar sebenarnya melambangkan filosofi. Jika membakar dupa 1 batang, maka memiliki makna sang pembakar dupa mempunyai 1 tujuan dan 1 tempatnya meminta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Jika dirinya membakar 3 dupa, maka Kyai Semar juga memiliki filosofi yaitu pikiran, ucapan, dan hati ataupun perbuatan haruslah sama dan sejalan. Hal ini mengingatkan kita agar senantiasa menjadi ‘Titah Gusti’ yang jujur apa adanya, tidak munafik terhadap sesuatu apapun.

Jika Kyai Semar membakar dupa berjumlah 5, maka sejatinya itu adalah tanda untuk mengingatkan manusia, agar senantiasa menjaga 5 waktu dan menghindari 5 perkara. Apa itu?

“Maksiat, Madat, Madon, Minum, Main (berbuat maksiat). Menghisap barang haram, bermain wanita atau selingkuh, minum arak, dan berjudi,” jelas Kyai Semar.

Dirinya juga menjelaskan terkait jumlah 7.

“Pitu kui Pitulungan (Tujuh itu Pertolongan),” imbuh Kyai Semar.

Diharapkan orang yang membakar dengan jumlah 7 mempunyai tujuan meminta pada Tuhan Yang Maha Esa untuk pertolongan pada dirinya.

Begitu pun angka 9, dalam kepercayaan masyarakat di Jawa, angka 9 merupakan angka kasampurnan, karena setelah angka sembilan, akan kembali lagi pada angka 0 dan 1 begitupun pengulangan seterusnya.

“Dadi 9 kui minangka pralambang kasampurnane uripe awakdewe le (Jadi 9 itu adalah perlambang kesempurnaan kehidupan kita nak),” ujar Kyai Semar sambil tersenyum dan mengelus elus kepala anak mbarepnya itu.

Punawakan jagongan
JAGONGAN SEMBARI NGUDUD. Punakawan berjagong ria didepan Surau. Ilustrator : Angie Nabilah Fidela/Picture: Bayu Kusumaleksana

Diiringi dengan bacaan yang dia komat kamitkan saat membakar dupa. Kyai Semar lantas berucap Laillahaillah Muhhamad Rasullullah.

“Dhuh Gusti niat Kula ngobong dupa ingkang angganda arum menika, minangka lambang rasa syukur Kula dhumateng Panjenengan, ugi kula nyuwun pangapura saking sedaya dosa lan kaluputan kula (Ya Tuhan, niat saya membakar dupa yang berbau wangi bunga kenanga ini, sebagai lambang rasa syukur saya kepada-Mu, serta saya memohon ampun atas segala salah dan dosa yang telah saya perbuat ya Rabb),” ungkap Kyai Semar sambil mengeluarkan air mata.

Kakek Semar lantas menghadap kiblat dan mengangkat tangan lantas menyuarakan tembang Asmarandana yang dibuat oleh anak ragilnya, Bagong, beberapa waktu lalu.

Kanthi Nyebut Asma Gusti

Kang anyipta jagad raya

Ingkang Agung Wlas Asihe

Kang Ngratoni Dina Karma

Sun Nyuwun Pitulungan

Manggih Margi Swarga Agung

Tinebihna saking memala

(Dengan Menyebut Nama Tuhan Yang Maha Esa, Yang menciptakan Alam Semesta seisinya, Yang memiliki sifat Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang memiliki Hari Pembalasan, Hamba memohon pertolongan hanya kepada-Mu, untuk mendapatkan jalan lurus menuju Surga Nirwana, bukan jalan orang-orang yang tersesat, Semoga kita selalu selalu dijauhkan dari Malapetaka dan Marabahaya berkat lindungan-Nya).

“Kowe ngerti, ngapa aku paling seneng ngunekake tembang Iki? (Kamu tahu, kenapa bapak paling suka malantunkan tembang ini?,” tanya Kyai Semar pada Nala Gareng.

Gareng menggelengkan kepala. Semarpun lantas tersenyum sambil memegang pundak Gareng.

“Merga Bagong nganggit tembang iki, nganggo landesan Kalamullah Fatehah (Karena Bagong mengarang syair tembang ini, berdasarkan arti dari kandungan Surat Al Fatihah),” pungkas Kyai Semar sambil tersenyum menutup suasana Dhuhur yang diselimuti mendung tipis.

(To Be Continued)

Ikuti selengkapnya kisah The Punakawan Series di Rubrik Sosial Budaya:

Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *